SELAMAT DATANG DI BUKU HARIAN DESTA ADITYA RAMLANI. SEMOGA ANDA MENDAPATKAN APA YANG ANDA INGINKAN. JANGAN LUPA ISI KOMENTAR ANDA ATAU BUKU TAMU. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA......................... Desta Aditya Ramlani: 2009-12-20

Minggu, 20 Desember 2009

MENATA HATI MENGELOLA DIRI

Orang bijak mengataka “ mendung memang kelabu, tetapi mendung itu pasti akan berlalu”. Kalau permasalahan dianggap sebagai beban maka yang terjadi adalah penumpukan rasa tertekan ang pada akhirnya akan memicu stress. Sedangkan apabila permasalahan dianggap sebagai tantangan , maka akal budi kita akan menuntun menuju sosial terbaik, yang denga pengalaman tersebut akan mendewasakan dan mencerdaskan pribadi kita.
Bagaimana caranya ? berikut adalah langkah-langkahnya.
1. Merubah sikap dan persepsi
Mungkin kita belum memahami dengan baik peran-peran yang ada dalam kehidupan ini, maka kita harus merubah cara pandang dan sikap dari negatif menjadi positif. Dari menganggap tugas-tugas kita adalah sesuatu yang berat dan melelahkan menjadi sikap poditif bahwa tugas-tugas yang diemban adalah mulia dan membanggakan.
2. Membangun Kepercayaan diri
Percaya diri tidak melulu beratri berani tampil di depan orag lain, tetapi juga percaya diri bahwa kita memang mapu untuk melaksanakan tugas peran-paeran sebagai masyarakat.

Diatas itu semua, mari kita kembalikan segalanya pada sang maha pemilik alam dan jiwa ini dengan berserah diri. Bersihkan hati dan pikiran, yang menurut Ary Ginanjar Agustiar dalam buku ESQ 165 Way sebagai Zero Mind Process, agar kita lebih pandai mendengar suara hati kita yang bening. Bertawakal dan mendekatkan hati dan jiwa pada tuhan yang maka kuasa.
Hidup sebenarnya jauh lebih sederhana daripada yang pernah kita bayangkan. Maka apabila menghadapi masalah, daripada merasa menderita, lebih baik kita berdamai dengan masalah. Beberapa diantaranya adalah denga mempaerkuat iman dan taqwa, beribadah penuh cinta bukan sekedar kewajiban, menghadapi masalah dengan sistematis dan proporsional, menerima segala perubahan degan penuh ikhlas da berusaha berarti bagi orang lain.

Asal Mula BUKIT CATU

Alkisah di pedalaman pulau bali, terdapat sebuah desa yang subur dan makmur. Sawah dan ladangnya selalu memberikan hasil panen yang melimpah. Di desa itu, tinggal seorang petani yang bernama Pak Jurna dan istrinya. Mereka menginginkan hasil panennya lebih banyak dari sebelumnya. “Sebaiknya pada musim tanam padi sekarang ini kita kaul” usul Pak Jurna pada istrinya. “Kaul apa, pak ?” sahut bu jurna. “Begini, kalau hasil panen meningkat, maka kita akan membuat sebuah tumpeng besar”. Ujar Pak Jurna. Ibu jurna pun menyetujuainya.
Ternyata hasil panennya menigkat. Sesuai dengan niat mereka, maka Pak Jurna dan istrinya membuat sebuah tumpeng besar disertai dengan pesta makan dan minum. Namun Pak Jurna dan istrinya belum puas dengan hasil panen yang diperolehnya. Maka mereka berkaul lai untuk musim panen berikutnya. “Jika hasil panen padi kita meningkat lagi, kita akan membuat tiga tumpeng yang besar-besar”, kata Pak Jurna yang diiyakan oleh istrinya. Mereka ingin mengadakan pesta makan dan minum yang lebih meriah lagi dari sebelumya.
Tibalah pada panen berikutnya, ternyata benar-benar terjadi. Hasil panennya lebih menigkat. Pak Jurna dan istrinya melaksanakan kaulnya. Sebagian dari sisa panennya dibelikan hewan ternak oleh Pak Jurna. Tetapi mereka belum merasa puas. Pak Jurna dan istrinya berkaul lagi, bila hasil poanen dan ternaknya menjadi lebih banyak maka akan membuat lima buah tumpeng besar. Panen berikutnya, benar-benar melimpah ruah dan ternaknya semakin banyak. “Suatu anugerah dari sang dewata, karena yang kita mohon selalu terkabul”, ucap Pak Jurna.
Pada suatu pagi yang indah, Pak Jurna pergi ke sawah. Setibanya di tepi sawah, ia melihat sesuatu yang aneh. “Onggokan tanah sebesar catu?” tanyanya dalam hati. “Perasaanku onggokan tanah itu kemarin belum ada!”, pikir Pak Jurna sambil mengingat-ingat. Catu adalah alat penakar beras dari tempurung kelapa. Pak Jurna melanjutkan niatnya untuk berkeliling sawahnya. Setibanya di rumah, dia bercerita pada istrinya tentang apa yang telah dilihatnya. Ia mengusulkan pada istrinya untuk membuat catu nasi seperti yang dilihatnya di sawah. Sang isteri menyetujuinya. Mereka merencanakan membuat beberapa catu nasi, dengan harapa hasil panennya menjadi melimpah ruah melebihi hasil panen orang lain.
Hasil panen Pak Jurna melipah ruah. Lumbung padinya penuh. Para tetangga sangat takjub akan keberhasilan dan keberuntungan Pak Jurna yan tiada bandingnya. Pak Jurna dan isterinya membuat beberapa catu nasi. Pesta dilaksanakan dengan sangat meriah. Beberapa catu nasi dibawa ke tempat sebuah catu yang berupa onggokan tanah berada. Namun Pak Jurna sangat terkejut melihat catu tersebut bertambah besar.
Pak Jurna segera pulang kerumah dan memerintahkan isterinya untuk membuat catu yang lebih besar lagi. Sebuah catu yang dimaksud telah siap dibawa ke sawah. Sambil bersenandung Pak Jurna membawa catu nasi besar. Namun setelah Pak Jurna tiba di tempat yang di tuju, Pak Jurna terkejut. “ Astaga ! catu semakin tinggi dan besar!” teriaknya. “tidak apa-apa. Aku masih mempunyai simpanan beras yang dapat membuat catu sebesar ini”, ujar Pak Jurna dengan sombongnya.
Setiap Pak Jurna membuat catu lebih besar, onggokan tanah yang berupa catu bertambah besar dan tinggi. Lama kelamaan catu itu menjadi sebuah bukit. Pak Jurna dan isterinya tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak sanggup lagi membuat catu nasi. Kemudian apa yang terjadi? Pak Jurna jatuh miskin karena perbuatan dan keangkuhannya sendiri. Akhirnya, onggokan tanah itu telah berubah menjadi bukit yang dinamai bukit catu.

Pesan Moral : Bersyukurlah atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh yang maha kuasa. Jangan serakah dan sombong, karena perbuatan itu akan mendapatkan balasan yang sangat pedih.