SELAMAT DATANG DI BUKU HARIAN DESTA ADITYA RAMLANI. SEMOGA ANDA MENDAPATKAN APA YANG ANDA INGINKAN. JANGAN LUPA ISI KOMENTAR ANDA ATAU BUKU TAMU. TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA......................... Desta Aditya Ramlani: DOA SEORANG PEMUDA CIUYAH

Selasa, 27 Oktober 2009

DOA SEORANG PEMUDA CIUYAH

DOA SEORANG PEMUDA
Bismillahir rohmanir rohiim
Allah ! Allah !
Napasmu menyentuh ujung jari-jari kakiku
yang menyembul dari selimut.
Aku membuka mata
dan aku tidak bangkit dari tidurku.
Aku masih mengembara
di dalam jiwa.
Burung-burung terbakar di langit
dan menggelepar di atas bumi.
Bunga-bunga apyun diterbangkan angin
jatuh di atas air
hanyut di kali, dibawa ke samudra,
disantap oleh kawanan hiu
yang lalu menggelepar
jumpalitan bersama gelombang.
Aku merindukan desaku
lima belas kilo dari Rangkasbitung.
Aku merindukan nasi merah,
ikan pepes, desir air menerpa batu,
bau khusus dari leher wanita desa,
suara doa di dalam kabut.
Musna. Musna. Musna,
Para turis, motel dan perkebunan masuk desa.
Gadis-gadis desa lari ke kota
bekerja di panti pijat,
para lelaki lari ke kota menjadi gelandangan.
Dan akhirnya
digusur atau ditangkapi
disingkirkan dari kehidupan.
Rakyat kecil bagaikan tikus.
Dan para cukong
selalu siap membekali para penguasa
dengan semprotan antihama.
Musna. Musna. Musna.
Kini aku di sini. Di Rangkasbitung.
Menjelang subuh. Angin santer.
Jendela tidak terbuka,
tapi tirainya aku singkapkan.
Kaca basah. Musim gugur.
Aku mencium bau muntah.
Orang Baduy histeri ketakutan
dikejar teror orang kulit putih
di tanah leluhurnya sendiri
di Lebak.

Kekerasan. Kekuasaan. Kekerasan.
Dan lantaran ada tambang intan di sana,
kekuatan adikuasa orang-orang kulit putih
juga termasuk yang demokrat,
memalingkan muka,
bergumam seperti orang bego,
dan mengulurkan tangan di bawah meja,
melakukan kerja sama dagang
dengan para penindas itu.
Dusta. Dusta. Dusta.
Ya, Allah Yang Maharahman !
Tanganku mengambang di atas air
bersama sampah peradaban.
Apakah aku akan berenang melawan arus ?
Langit nampak dari jendela,
Ada hujan bulu-bulu angsa.
Aku hilang di dalam kegagapan.
Ada trem lewat.
Trem ? Buldoser ? Panser ?
Apakah aku akan menelpon Ayah?
Atau Ibuku?
Berapa lama akan sampai
kalau sekarang aku menulis surat
kepada Bapak SBY di Jakarta ?
Sia-sia. Musna. Dusta.
Rangkasbitung!Rangkasbitung!
Hiruk-pikuk suara pasar di Jakarta.
Bau daging yang terbakar.
Perang saudara di Ambon yang abadi.
Aku termangu.
Apakah aku akan menyalakan lampu ?
Terdengar lonceng berdentang.
Berapa kali tadi ? Jam berapa sekarang ?
Ayahku di Rangkasbitung selalu bertanya :
Kapan kamu akan menikah ?
Apakah kamu akan menikah ?
Kapan kamu akan memberiku seorang cucu ?
Apakah lampu akan kunyalakan ?
Di Rangkasbitung pasti musim hujan sudah datang.
Kenapa aku harus punya anak ?
Kalau perang dunia ketiga meletus
nuklir digunakan,
angin bertiup,
hujan turun,
setiap mega menjadi ancaman.
Jadi anakku nanti harus mengalami semua ini ?
Rambut rontok. Kulit terkelupas.
Ampas bencana tidak berdaya.
Ah, anakku, sekali kamu dilahirkan
tak mungkin kamu kembali mengungsi
ke dalam rahim ibumu !
Suara apakah itu ?
Electronic music ?
Jam berapa sekarang ?
Apakah sudah terlambat untuk salat subuh ?
Buku-buku kuliah di atas meja.
Tanganku menjamah kaca jendela.
Dan dari jauh datang mendekat :
wajahku.
Apakah yang sedang aku lakukan ?
Ya Allah Yang Maharahman !
Tanganku mengambang di atas air
bersama sampah peradaban.
Apakah aku harus berenang melawan arus ?
Astaga ! Pertanyaan apa ini !
Apakah aku takut ? Ataukah aku menghiba ?
Apakah aku takut lalu menghiba ?
Pertanyaan apa ini !
Ya, Allah Yang Maharahman.
Aku akan menelpon ayah
dan juga ibu.
Aku akan menulis surat kepada Bapak SBY
Tanganku mengepal di dalam air
tercemar sampah peradaban.
Tidak perlu aku merasa malu
untuk bicara dengan imanku.
Allah Yang Maharahman,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar